Kamis, 20 Oktober 2011

Pil Koplo dan Tanya Sedih


untuk kematian yang menjelang tiba, gelas diangkat. disusunnya sebuah peta sampai ke beranda rumah yang terselip diantara lorong dan gang-gang buntu tempat pil koplo dijual murah
kusaksikan wajah letih dan berpuluh kenang yang tiba-tiba berharga. mengitari dinding ingatan untuk kembali di sanjung, dinyanyikan seperti kunang-kunang yang pamit

lalu di sebuah pagi yang badai, hujan menampar dedaun sampai ke atap: kau pulang dengan doa yang rukun dari kubangan tampat kita yakin bila dosa adalah kawan paling setia.

“dosa juga sebuah cara untuk setia memuji keagungan tuhan.” tukasmu.
ada banyak tanya di kepalaku
yang selalu ingin kujawab sendiri tanpa harus kau yang meminta penjelasan dengan cara paling sepi. Pertanyaan itu untukmu sendiri, kau jawab sendiri,
dengan mati.

pil koplo, dengan tanya sedih
sebuah peta: yang tak satupun tau dimana muaranya

Purabaya, Oktober 2011
Citra D. Vresti Trisna

Rabu, 19 Oktober 2011

pulang

tangis sepanjang jalan menandai hujan di kampung yang mengenang dahan-dahan melamun. bagai lelaki yang tak pernah kuasa atas tangis: gugur di ladang-ladang gambut. humus dari tubuh coreng moreng yang terbaring luka.

aku mengantarmu pulang, kang
pada sepi: pada ribut belasan anjing yang menggonggong di pinggir rel kereta api
memanggil kenang yang diboyong rangkaian gerbong, berjelaga

kang, setiap pisah selalu terselip tangis
tersirat kepulangan untuk kembali mencari wajah perempuan di album foto
: lebaran kemarin

Surabaya, 2010

Jumat, 16 September 2011

kangen


Biarkan letih menjadi malam-malam tanpa pernah ada duka. Lalu kau tidur dengan selimut paling hangat dari doaku yang menyertaimu dengan tiada alpa. Semoga esok pun beranjak dari setiap lembut yang membikin teduh menjadi semakin teduh dan hangat menjadikanku selalu di sisimu. Kasih, berapa lama jarak duka dan segala rintang hingga aku bisa kembali berdiri dihadapanmu, memelukmu dengan kasih, dan mengecup bibirmu sampai kita sama-sama tak lagi berpijak. Seperti yang kita cita-citakan. Seperti yang kita inginkan.
Sejak pelabuhan dan laut yang akhirnya menang untuk memisahkan kita dan aku tak lagi menjumpaimu. Kenang tinggal kenang, rindu menjadi hantu di setiap malam-malam. Maka kau menggamit lenganku, membawa diriku hilang tanpa secuilpun tersisa. Inikah kutuk rindu? Bayaran paling setimpal ketika cinta terlambat untuk bertaut: kau dengan kekasihmu, aku dengan kekasihku. Tengik benar cerita kita ini.
Waktu terus berjalan. Kesadaran merambati kisah cinta terlarang antara kau dan aku. Kau memutuskan pergi, dan membiarkan hatimu kering sampai aku juga turut mengikuti. Tapi apa kesadaran hatiku bisa mengikutimu untuk membiarkan semua rasaku turut mengering? Tidak, sayang. Segalanya memang kebetulan yang menarik. Rasa cinta terjalin dengan apik dari pertemuan ke pertemuan, menjadi rindu yang di sulam lantas meledak di pertemuan berikutnya. Bertaut dari peluk lalu kecup dan berakhir seperti siksa menjelang maut.
Cinta yang berangkat dari ketiakmungkinan memang begitu sulit diwujudkan; begitu sakit dibiarkan hilang. Sedang begitu sakitnya merelakan sesuatu yang berangkat dari rasa cinta yang menghentak-hentak sampai pagi menjadi malam dan menjadikan segalanya berubah sepi. Kau tau, sayang, kesepian kerap membuat kesadaran melenyap. Dan itulah yang kurasakan sekarang.
Terpisah dari bentang jarak bukanlah apa, tapi terpisah karena cinta yang harus kalah dengan logika dan kesadaran bila cinta yang terlambat datang tak mungkin disatukan adalah luka dan teluh malam. Dengan cara seperti ini aku akan tandas. Dilibas pedang-pedang rindu yang mengiris hati tanpa kenal jeda.
Mengapa kau harus pergi, sayang? Bagaimana dengan janji kita untuk menyatukan segalanya di surga kelak? Apa kau lupa, atau logika bicara lebih jauh dan melenyapkan semuanya menjadi serpihan yang terberai disapu gelombang. Tuhan, kalau keajaiban itu ada, maka sekaranglah saatnya.
*

Malam kembali menyapa dengan segala cekik dari kutuk rindu. Rasa sesak sampai di sini, di warung kopi, tempat dimana aku biasa menafikan bayangmu.
Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Sampai suatu ketika aku mendengar kabar tentangmu yang sudah lebih dekat denganku: kau berada di Jakarta. Sejengkal saja rasanya dari Surabaya. Terimakasih, Tuhan, untuk segala pelukanmu pada tiap doa-doa dari segala aniaya. Tunggu, sayang. Aku pasti datang. Untuk kasih, untuk segala yang semoga belum sepenuhnya mengering dan menghilang. Sebab aku mencintaimu sepenuhnya. Demi segala yang pernah terlewat hingga menjadi cinta. 
Kasih, hari sudah jauh tercium wangi hujan. Kau menghilang justru tanpa jejak hingga segalanya buram. Aku sudah jauh rindu, sayang. Di sini, kota membusuk karena rindu-rindu yang tak pernah letih mencekik. Kau melupakanku: segala kasih dan pergi dengan kebijaksanaan normatif untuk tidak memilihku, karena kekasihku, juga kekasihmu.
Segalanya hilang. Menjadi gelap yang tidak memijakkan kita pada ruang manapun sehingga sendiri tetap sendiri. Gelap menjadi gelap. Malam menjadi malam. Kau hilang, dan kita tak kunjung bertemu meskipun kau sudah ada di sini.

Tulungaggung, 14 September 2011

Selasa, 06 September 2011

-Juli-


Kasih,
Sejak Juli tandas dari meja-meja waktu
Cangkir kosong menandai kesepian yang datang tanpa bisa ditunda
Lalu biji mata kita mengeja setiap luka:
yang  mengapung di gelas kopi,
di langit-langit kamarmu yang letih

kasih,
Setiap duka waktu mengantarku sampai ke tasik
Menguluk salam pada kapal-kapal yang melaju
            Semoga sampai di kotamu
 – kota yang menandai pertemuan dengan sepotong sore dan nasib baik –
Juga sebuah jarak yang tengik

September, 2011

*habis


aku selalu ingin mabuk di sisimu
bila mesti tandas,
di pelukmu segala istirah, segala tangis yang pulas

karena aku ingin mengejar dua tahun ini
pada matahari yang dibiarkan terbit.

saat pagi yang mendoa, rukun
memanggil segala tabah saat pintu berderit
terbuka

aku harus pergi pada kota selanjutnya
untuk mimpi yang dibiarkan
terbakar: habis

Jombang, 2011

*tulisan ini memang sengaja tanpa judul.

Pada Kotamu:


Ada rinai yang menandai pijakan
aku, pada kotamu
Juga tetabuhan yang menidurkan dedaun
gugur

Lalu gerimis,
mengundang siul sampai ke warung kopi
Ada baris yang terselip di kerlingmu
Mengundang pejalan bersinggah

Aih, sudikah kau tuang teh
dalam gelasgelas gelisah

yang malu pada kerudung
yang malu pada malam
dikutuki sihir kota
: Surakarta

Surakarta, 2011

menuju hilang


kau mengajariku suluk bunyi
gemerincing tari-tarian doa mencari kubangan
kota paling sepi

adalah kotamu, ning
tersenyum pada dermaga dan menyambutku
di peluk paling perempuan
            kita berjalan menuju hilang

“aku tak akan menemuimu lagi” ucapmu

Keletek, 2011

Senin, 05 September 2011

Setiap Pagi

1
setiap pagi aku selalu membaca jejakmu lewat gambar diam yang berserak
segala kemanisan akan kenang
kau, perempuan
mengapa tak kau simpan ragumu di kulkas, lantas kita berpelukan saja
sebab segalanya seperti mudah
laksana ayam yang berlarian: kawin


2
setiap pagi, sehabis keluar kamar, aku selalu menyempatkan melirik wajahmu dalam sebuah dompet. apa kau juga melakukan itu, sayang? sebab memang seperti itu yang selalu kita janjikan, dulu. masihkah kau?
atau?

kupikir kita memang tak pernah pandai bertanya, bicara.
sebaiknya kita diam
melihat, menantikan esok sambil minum kopi.

3
setiap pagi

setia
pada
pagi: mengingatmu

April, 2011
Citra D. Vresti Trisna

anak-anak malam

susun jasatmu menjadi klenik, lalu datangi aku. tangkap jiwaku dan kan kubukakan pintu esok pagi.
karena kebohonganmu selalu kumaklumi saat aku kembali menutup pintu selepas sore.
aku sudah terbiasa dengan ketidakadilan yang selalu datang pagi-pagi

setiap malam, selalu kusempatkan mengecup kening dari setiap mimpi buruk
tentang dapur-dapur lengang.

mereka sudah seperti anak-anakku sendiri,
apalagi cuma itu yang kau titipkan,
memasrahkan padaku untuk merawatnya.

sepanjang malam ini
banyak orang-orang memaki
matanya merah: mengutukimu
: bapak dari anak derita yang lahir di rahim orang-orang miskin.

Kita sudah menjadi semacam bango samparan yang harus merawat dan menampung anak jadah yang tidak lagi kenal aturan.

Bangkalan, 2010

riwayat api

senja yang menarik bunga-bunga adalah hari ini,
dimana aku menemukan biji matamu diantara kerumun badik

sehabis malam,
cuma resah membatu
menebak siapa yang datang saat pintu berderit dan terbuka
napasmu kah yang sampai lebih dulu sebelum tiba pelukan?


orang-orang  berkelakar
bersila,
mukanya berkakuan mengasah parang-parang panjang

komat-kamit mantra terbaca sudah

“ini karat musti hilang sebelum hari menjelang pagi”
lantas tak ada yang terdengar kecuali  kerumun berbisik,
 sandal-sandal yang pulang karena darah adalah bahasa

membaca mantra-mantra
: perihal mencintai gadis orang

Bangkalan, 2010
Citra D. Vresti Trisna