Selasa, 19 Agustus 2014

PEMBURU GARU

ambilah kayu garu di laut ranjau,
asapi dengan dupa dan rapal mantra
melingkar di lengan diikat tali kecapi
karena di sebrang kayu garu adalah pintu
menyimpan telanjang, malaikat dan penari
dari kutuk ular air yang tulus memberkati

mencintai malam tak terbahasakan
puisi dan gelisah pantai menuju sore
siapa nama angin malam ini
yang menggoyang dedaun
batang-batang garu membuat cerita
pertemuan saat pagi pualam

ah, tuhan-kekasih yang mencatat tempias tangis
denting parang menyibak gemeretak batang garu;
garu di kampak, garu yang gemetar menunggu
di kantong  jaket pengembara
pemungut ranting di malam buta

(2014)

* Kayu yang harum baunya, biasanya dr pohon tengkaras; Aquilaria malaccensis

Kamis, 11 Oktober 2012

deka tualang




suatu saat kita mesti mengembara
kota-kota yang dilukis telanjang
atau tempat para ratib meninggalkan jejaknya
di dinding kamar hotel
kita jalang, sayang
: buangan

aku keris, kau warangan
bukankah sekali purnama kau cumbui tubuhku
            sesap di dadaku sebagai tualang

sehabis api ini
jiwa kita berlesatan
kita tak akan menjadi apa-apa,
kecuali jelaga yang terbang
mengintip di jendela
            seperti hantu

atau sesekali ke gunung-gunung
            menjumpai jasad kita sekarat kedinginan

menyadari kita hanya luka-luka
wajah suyi yang mudah pecah saat embun luruh dari dedaun.

Bangkalan, 2010

Dedes



kau tak pernah berkata apa-apa,
kecuali membiarkanku terus menciumi jenjang lehermu
meyakini percumbuan pahit rindu selalu berdarah
“luka pertemuankah ini, kakang?” ucapmu.

diam, diamlah, manisku
biarkan bisik batu kali menggunjing dengan bahasanya yang gelap
menghadiahi kita kalungkalung hijau cahaya dari kerlip kunang
karena anak-anak kita akan lahir di bilik ini

dedes, manisku
lontar-lontar manakah yang membawamu sampai kemari
restu dewa apakah yang iba karena merasa iba karena pernah merasai rindu

kau pun kembali menyalakan damar
“agar dewa-dewa memberi restu.”

lalu, damar dipadamkan

Bangkalan, 2010

Citra D. Vresti Trisna

Bau Penis



/1/
Saat aku mencatat dan mulai bekerja, kau nikmati punggungku yang berlalu sembari mulai menghubungi nomor-nomor yang kau samarkan.
“Hallo, sayang.”
Tiba-tiba tubuhmu telanjang dan menggeliat-liat karena seekor anjing merubung kelaminmu. Dan langit-langit kamar, juga dindingnya, merekam keringat dan sauh yang tertelan di mulutmu.
: saat itu kau tak ingat diriku

/2/
Rasa sakit itu meledak juga. Seperti napsu dan perih batin di silet-silet.
Membayangkanmu, tubuhmu, dan sebuah perselingkuhan manis di sebalik mataku.
Tapi rambut dan tiap sentimeter tubuhku menghafal namamu,
Mengendus amis yang bukan milikku. “Mulutmu bau amis penis, sayang.”
Kau menangis. Aku juga. Meski aku tak perduli

/3/
Kudapati aku mengangkangi pelacur dengan dada dan selakangan yang seribu kali lebih bagus dari kau, sayang.
: saat itu aku tak ingat dirimu

2011

Citra D. Vresti Trisna