Biarkan letih menjadi malam-malam tanpa pernah ada duka. Lalu kau tidur dengan selimut paling hangat dari doaku yang menyertaimu dengan tiada alpa. Semoga esok pun beranjak dari setiap lembut yang membikin teduh menjadi semakin teduh dan hangat menjadikanku selalu di sisimu. Kasih, berapa lama jarak duka dan segala rintang hingga aku bisa kembali berdiri dihadapanmu, memelukmu dengan kasih, dan mengecup bibirmu sampai kita sama-sama tak lagi berpijak. Seperti yang kita cita-citakan. Seperti yang kita inginkan.
Sejak pelabuhan dan laut yang akhirnya menang untuk memisahkan kita dan aku tak lagi menjumpaimu. Kenang tinggal kenang, rindu menjadi hantu di setiap malam-malam. Maka kau menggamit lenganku, membawa diriku hilang tanpa secuilpun tersisa. Inikah kutuk rindu? Bayaran paling setimpal ketika cinta terlambat untuk bertaut: kau dengan kekasihmu, aku dengan kekasihku. Tengik benar cerita kita ini.
Waktu terus berjalan. Kesadaran merambati kisah cinta terlarang antara kau dan aku. Kau memutuskan pergi, dan membiarkan hatimu kering sampai aku juga turut mengikuti. Tapi apa kesadaran hatiku bisa mengikutimu untuk membiarkan semua rasaku turut mengering? Tidak, sayang. Segalanya memang kebetulan yang menarik. Rasa cinta terjalin dengan apik dari pertemuan ke pertemuan, menjadi rindu yang di sulam lantas meledak di pertemuan berikutnya. Bertaut dari peluk lalu kecup dan berakhir seperti siksa menjelang maut.
Cinta yang berangkat dari ketiakmungkinan memang begitu sulit diwujudkan; begitu sakit dibiarkan hilang. Sedang begitu sakitnya merelakan sesuatu yang berangkat dari rasa cinta yang menghentak-hentak sampai pagi menjadi malam dan menjadikan segalanya berubah sepi. Kau tau, sayang, kesepian kerap membuat kesadaran melenyap. Dan itulah yang kurasakan sekarang.
Terpisah dari bentang jarak bukanlah apa, tapi terpisah karena cinta yang harus kalah dengan logika dan kesadaran bila cinta yang terlambat datang tak mungkin disatukan adalah luka dan teluh malam. Dengan cara seperti ini aku akan tandas. Dilibas pedang-pedang rindu yang mengiris hati tanpa kenal jeda.
Mengapa kau harus pergi, sayang? Bagaimana dengan janji kita untuk menyatukan segalanya di surga kelak? Apa kau lupa, atau logika bicara lebih jauh dan melenyapkan semuanya menjadi serpihan yang terberai disapu gelombang. Tuhan, kalau keajaiban itu ada, maka sekaranglah saatnya.
*
Malam kembali menyapa dengan segala cekik dari kutuk rindu. Rasa sesak sampai di sini, di warung kopi, tempat dimana aku biasa menafikan bayangmu.
Waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Sampai suatu ketika aku mendengar kabar tentangmu yang sudah lebih dekat denganku: kau berada di Jakarta. Sejengkal saja rasanya dari Surabaya. Terimakasih, Tuhan, untuk segala pelukanmu pada tiap doa-doa dari segala aniaya. Tunggu, sayang. Aku pasti datang. Untuk kasih, untuk segala yang semoga belum sepenuhnya mengering dan menghilang. Sebab aku mencintaimu sepenuhnya. Demi segala yang pernah terlewat hingga menjadi cinta.
Kasih, hari sudah jauh tercium wangi hujan. Kau menghilang justru tanpa jejak hingga segalanya buram. Aku sudah jauh rindu, sayang. Di sini, kota membusuk karena rindu-rindu yang tak pernah letih mencekik. Kau melupakanku: segala kasih dan pergi dengan kebijaksanaan normatif untuk tidak memilihku, karena kekasihku, juga kekasihmu.
Segalanya hilang. Menjadi gelap yang tidak memijakkan kita pada ruang manapun sehingga sendiri tetap sendiri. Gelap menjadi gelap. Malam menjadi malam. Kau hilang, dan kita tak kunjung bertemu meskipun kau sudah ada di sini.
Tulungaggung, 14 September 2011