kau tak pernah berkata apa-apa,
kecuali membiarkanku terus menciumi
jenjang lehermu
meyakini percumbuan pahit rindu
selalu berdarah
“luka pertemuankah ini, kakang?”
ucapmu.
diam, diamlah, manisku
biarkan bisik batu kali menggunjing
dengan bahasanya yang gelap
menghadiahi kita kalungkalung hijau
cahaya dari kerlip kunang
karena anak-anak kita akan lahir di
bilik ini
dedes, manisku
lontar-lontar manakah yang membawamu
sampai kemari
restu dewa apakah yang iba karena
merasa iba karena pernah merasai rindu
kau pun kembali menyalakan damar
“agar dewa-dewa memberi restu.”
lalu, damar dipadamkan
Citra D. Vresti Trisna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar